bintang kecil untuk hatiku (written by : my brother)
BINTANGKECIL UNTUK BINTANG HATIKU
1
Aku hanyalah anak
dari keluarga sangat sederhana, dengan ayah sebagai tukang becak dan ibu
seorang tukang cuci. Hidup dalam sebuah kota besar, dengan mengandalkan
penghasilan yang pas-pasan dari kedua orangtuaku. Berbagai masalah hidup seakan
telah menjadi makanan sehari-hari keluarga kami, dan salah satunya yang paling
sering yaitu masalah ekonomi.
Semua pengalaman
tentang kerasnya hidup dan arti hidup, telah aku rasakan sejak kecil. Hidup
dalam keluarga yang lembut namun dalam masyarakat yang keras.tidak mudah untuk
hidup di daerah yang merupakan lingkungan kumuh dan penuh dengan preman.
Lingkungan yang telah mendewasakan diriku dan membangun mentalku kuat. Namun
sifat ini menjadikan aku berani dalam menghadapi segala rintangan tanpa
mengeluh. Dan sejujurnya sifat keras kepala yang aku miliki, membuat aku merasa
sering membuat kesalahan karena selalu merasa benar, dan sifat yang terkadang
membuat bertengkar dengan kedua orangtuaku.
Berawal dari
masalah sekolah, ketika aku ingin masuk SMA, lagi-lagi aku bertengkar mulut
dengan kedua orangtuaku. Sifat kerasa kepalaku kembali muncul hal yang aku
inginkan tidak bisa kulakukan. Aku tidak meminta hal yang sulit untuk kedua
orangtuaku penuhi, hanya ingin membantu
mereka bekerja dan mencari penghasilan untuk keluarga. Namun hal ini ditolak
oleh kedua orangtuaku dan membuatku bertambah semakin dongkol saja.
Aku merasa hal ini
positif, karena aku berhenti sekolah untuk membantu mencari nafkah bagi
keluarga. Pikirku, lebih baik aku mencoba membicarakan semua dengan ibuku, yang
mungkin akan lebih mengerti.
“Nggaaakkk!!!”
Suara ibu membentak diriku.
“Kenapa bu, aku
Cuma pengen bantu!!! Aku juga pengen buat keluarga kita bahagia” Aku mencoba
menjelaskan.
”ibu tau maksud
kamu baik, tapi bukan begini caranya untuk membuat orang tuamu bahagia. Lagipula
ayah dan ibu masih sanggup membiayai kamu dan adikmu. Ayahmu masih kuat mengayuh
becak, ayah masih sanggup berjemur di teriknya siang, dan ayahmu juga pasti tak
ingin kamu punya pekerjaan seperti dia. Menjadi seorang tukang becak dengan
penghasilan pas-pasan.” Ibu mencoba menasihatiku dengan tetap tenang.
“Tapi bu,,,,, ayah
sudah cukup tua dan bekerja sebagai tukang becak bukanlah pekerjaan yang mudah
lagi seperti dia muda dulu. Dan maksud aku tuh baik” Aku tetap bersikeras.
Beberapa saat
suasana di dalam terasa sangat sepi, entah apa yang ada di pikiran ibu sehingga
tak menjawab pernyataanku itu. Seperti ada yang ingin di ungkapkan namun terasa
sangat berat baginya.
“Don, suatu
kebahagiaan orangtua tak akan pernah terbayar dengan materi yang diberikan
anaknya. Dan orangtuamu ini akan lebih bahagia ketika melihat anaknya mampu
berprestasi di sekolah ketimbang bekerja. Kamu masih butuh sekolah, masih butuh
pendidikan dan masih butuh waktu bermain dari pada bekerja.” Ibu mencoba
menjelaskan, namun seketika itu juga ibu
menitikkan air matanya. Entah apa yang dipikirkan ibu, tapi aku bisa membaca
matanya yang masih menyembunyikan sebuah kesedihan. Dan bukan hal ini yang
menjadi penyebab utama ibu menangis.
Namun tetap saja perasaan seorang anak ketika
melihat ibunya menangis merasa ikut bersalah pula. Seketika pula pikiran dan
hatiku seperti tersambar petir, perasaan yang tidak karuan dalam hati membuat
pikiranku kacau. Baru kali itu aku melihat ibu menangis di hadapanku, dan
sepertinya aku yang telah membuat ibu menangis. Serasa sangat berdosa sekali diriku
ini ketika membuat menangis seorang ibu yang membesarkan aku. Aku mencoba
memeluk ibu dan terhanyut dalam dekapannya.
“ibu maafin Doni,
bu,.” Dengan memeluk ibu, dan sambil mengucurkan air mata aku terus mengucapkan
kata maaf. Namun belum ada sepatah katapun dari ibu. Entah apa yang ada di
benaknya.
“Don, kamu tolong
buat ibu bahagia ya. Kamu harus sekolah, buat ibu bangga dengan prestasimu. Ibu
dan ayah pasti akan berjuang untuk membiayai kamu dan adikmu. Berikanlah
kebahagiaan dengan prestasimu.” Tiba-tiba ibu berbicara seperti itu.
“jeleeeegaaaarrrr….jeleeeeegeeeeerrrr….”
Seperti ada Guntur yang menyambar dalam hatiku, dan membuat aku tak sanggup
menahan air mata sehingga menangis sejadi-jadinya.
“Hikssss….hikkksssss….hiksss….”
Tak mampu aku berkata apa-apa lagi ketika mendengar semua nasihat ibu, hanya
menangis dan menangis.
Aku memang pria
dengan mental kuat, namun tetap menjadi lemah ketika melihat tangisan seorang
wanita, apalagi ibuku sendiri. Belum mampu aku untuk beranjak dari ruangan itu,
kaki masih terasa sangat berat dan tubuh masih terasa lunglai. Namun tak dapat
disembunyikan perasaan nyaman ketika berada di pelukan seorang ibu, walaupun
suasana saat itu sedang haru.
“Ma, Doni pergi ke
kamar dulu ya.” Ibu tidak mengucapkan sepatah katapun. Namun suasana di ruangan
itu perlahan mulai tenang. Dan beranjak aku meninggalkan ibu. Masih belum tega
rasanya untuk meninggalkan ibu, dan kulihat ibu dari hordeng yang memisahkan
ruang tamu dan dapur.
“Kenapa ma???” Tiba-tiba
kulihat ayah datang dan merangkul ibu, dan disitu kembali kulihat ibu tak mampu
menahan air matanya.
“Pa, kita harus
berusaha terus untuk membuat anak kita bisa sekolah. Entah bagaimana caranya,
namun kita harus tetap kuat. Ibu gak mau liat doni dan riska menjadi seperti
kita” Ibu menjelaskan dengan terus berlinang air mata.
“Ya, TUHAN
kuatkanlah Ibu dan ayah untuk menghadapi semuanya.” Masih merasa sangat
bersalah diri ini, dan aku merasa sangat bodoh. Namun dalam hati kecil ini
terus berdoa, agar orangtuaku kuat. Tak sanggup aku meyaksikan dan mendengarkan
terus obrolan mereka. Dan kurasa aku takkan sanggup menahan tangis jika terus
mendengarkan. Segera aku pergi ke kamara dan mengunci pintu.
“Ya, TUHAN apa
yang telah aku lakukan??? Hati orangtua yang telah membesarkan aku telah
kusakiti. Inikah balasanku atas jasa mereka??? Dan materi yang berlimpahpun tak
mampu membayar atas jasa mereka. Namun sekarang aku malah membalasnya dengan
suatu beban, untuk hati mereka. Aku harus berusah mencari penghasilan sendiri
dan berprestasi dalam sekolah” Sesaat aku bergumam dalam hati dengan perasaaan
bersalah.
Aku merenung dan
saat kutatap langit, seakan mereka juga tak bersahabat dan tak mampu
menenangkan hati yang gundah ini. Langit mendung, petir bersahut-sahutan dan
tak ada bintang dan bulan yang sangat indah.
Walaupun tadi
bertengkar dengan ibu, tidak menghentikan tekatku untuk mencari biaya tambahan dan tidak boleh ada yang tahu. Namun ada
sesuatu yang masih membuat diriku penasaran dengan hal yang membuat ibu
menangis. Aku mencoba tetap berpikir dengan akal sehat, bahwa ibu menangis
karena perasaan seorang wanita yang memang sensitive.
Tak terasa sudah
dua jam lebih aku merenung. Hari telah larut malam dan jam sudah menunjukkan
pukul 12 malam, aku beranjak dari jendela dan menuju kasur. Aku mencoba
memejamkan mataku untuk melupakan kejadian hari ini. Namun rasa gelisah terus
berkecamuk dalam hati dan pikiran. Terus mencoba memejamkan mata namun tetap
tak bisa. Rasa penasaran it uterus menghantui diriku.
Masih tak mampu
aku memejamkan mata, dan tenggorokkan inipun terasa sangat kering. Aku bangun
dan menuju dapur untuk mengambil air minum.
Ketika menuangkan
air, tak sengaja aku menguping obrolan ayah dan ibu, yang ternyata dari tadi
masih belum selesai dan masih membahas tentang sekolahku dan adikku.
“Pa, mama masih
bingung bagaimana mencari dana untuk sekolah Doni dan Riska, serta uang
pengobatan untuk ginjal Riska.” Ibu menjelaskan kepada ayah.
“Ha???? Pengobatan
Riska???” Aku terkejut ketika mendengar kalimat itu.
Sampai saat ini
aku tidak tahu kalau Riska mempunyai penyakit yang berhubungan dengan ginjal.
Aku terus menguping untuk menemukan jawabannya. Namun tiba-tiba ayah mengajak
ibu untuk tidak membahasnya.
“Ma, jangan
ngomong di sini nanti di dengar anak-anak.” Ayah mengajak ibu ke kamar.
Semakin penasaran
saja aku, namun belum mendapat jawaban yang pasti. Sepertinya penyakit yang
dimiliki Riska, terlihat parah. Sehingga orangtuaku tidak memberitahunya
sedikitpun kepada aku dan Riska.
2
Esok paginya
Baru kali itu aku
melihat ayah menangis dan baru kali itu pula ayah bersikerasa untu
Seketika hati
seperti tersambar petir dan kaki serasa lemas tak berdaya Tak mudah bagi kedua
orangtuaku berjuang dalam menghadapi rintangan, untuk berjuang menyekolahkan
aku dan adikku.
Terasa sedih
ketika wajah yang kusam dan peluh menetes stelah
Melihat banyak
teman-teman sebayaku yang berasal dari keluarga kaya raya, jatuh dalam sebuah lubang
kelamnya hidup dan terjerumus dalam suatu nikmatnya kebahagiaan dunia. Bagi
mereka hidup hanyalah sebuah kebahagiaan, yang dapat mereka nikmati saat ini.
Tak ada keinginan mereka yang tidak dapat terpenuhi, dengan uang yang mereka
dapat dari orang tua mereka
Sementara
aku??? Aku hanya merasa seperti semut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar