Selasa, 04 September 2012

bintang kecil untuk hatiku (written by : my brother)


BINTANGKECIL UNTUK BINTANG HATIKU



1

Aku hanyalah anak dari keluarga sangat sederhana, dengan ayah sebagai tukang becak dan ibu seorang tukang cuci. Hidup dalam sebuah kota besar, dengan mengandalkan penghasilan yang pas-pasan dari kedua orangtuaku. Berbagai masalah hidup seakan telah menjadi makanan sehari-hari keluarga kami, dan salah satunya yang paling sering yaitu masalah ekonomi.

Semua pengalaman tentang kerasnya hidup dan arti hidup, telah aku rasakan sejak kecil. Hidup dalam keluarga yang lembut namun dalam masyarakat yang keras.tidak mudah untuk hidup di daerah yang merupakan lingkungan kumuh dan penuh dengan preman. Lingkungan yang telah mendewasakan diriku dan membangun mentalku kuat. Namun sifat ini menjadikan aku berani dalam menghadapi segala rintangan tanpa mengeluh. Dan sejujurnya sifat keras kepala yang aku miliki, membuat aku merasa sering membuat kesalahan karena selalu merasa benar, dan sifat yang terkadang membuat bertengkar dengan kedua orangtuaku.

Berawal dari masalah sekolah, ketika aku ingin masuk SMA, lagi-lagi aku bertengkar mulut dengan kedua orangtuaku. Sifat kerasa kepalaku kembali muncul hal yang aku inginkan tidak bisa kulakukan. Aku tidak meminta hal yang sulit untuk kedua orangtuaku penuhi,  hanya ingin membantu mereka bekerja dan mencari penghasilan untuk keluarga. Namun hal ini ditolak oleh kedua orangtuaku dan membuatku bertambah semakin dongkol saja.

Aku merasa hal ini positif, karena aku berhenti sekolah untuk membantu mencari nafkah bagi keluarga. Pikirku, lebih baik aku mencoba membicarakan semua dengan ibuku, yang mungkin akan lebih mengerti.

“Nggaaakkk!!!” Suara ibu membentak diriku.

“Kenapa bu, aku Cuma pengen bantu!!! Aku juga pengen buat keluarga kita bahagia” Aku mencoba menjelaskan.

”ibu tau maksud kamu baik, tapi bukan begini caranya untuk membuat orang tuamu bahagia. Lagipula ayah dan ibu masih sanggup membiayai kamu dan adikmu. Ayahmu masih kuat mengayuh becak, ayah masih sanggup berjemur di teriknya siang, dan ayahmu juga pasti tak ingin kamu punya pekerjaan seperti dia. Menjadi seorang tukang becak dengan penghasilan pas-pasan.” Ibu mencoba menasihatiku dengan tetap tenang.

“Tapi bu,,,,, ayah sudah cukup tua dan bekerja sebagai tukang becak bukanlah pekerjaan yang mudah lagi seperti dia muda dulu. Dan maksud aku tuh baik” Aku tetap bersikeras.

Beberapa saat suasana di dalam terasa sangat sepi, entah apa yang ada di pikiran ibu sehingga tak menjawab pernyataanku itu. Seperti ada yang ingin di ungkapkan namun terasa sangat berat baginya.

“Don, suatu kebahagiaan orangtua tak akan pernah terbayar dengan materi yang diberikan anaknya. Dan orangtuamu ini akan lebih bahagia ketika melihat anaknya mampu berprestasi di sekolah ketimbang bekerja. Kamu masih butuh sekolah, masih butuh pendidikan dan masih butuh waktu bermain dari pada bekerja.” Ibu mencoba menjelaskan, namun  seketika itu juga ibu menitikkan air matanya. Entah apa yang dipikirkan ibu, tapi aku bisa membaca matanya yang masih menyembunyikan sebuah kesedihan. Dan bukan hal ini yang menjadi penyebab utama ibu menangis.

 Namun tetap saja perasaan seorang anak ketika melihat ibunya menangis merasa ikut bersalah pula. Seketika pula pikiran dan hatiku seperti tersambar petir, perasaan yang tidak karuan dalam hati membuat pikiranku kacau. Baru kali itu aku melihat ibu menangis di hadapanku, dan sepertinya aku yang telah membuat ibu menangis. Serasa sangat berdosa sekali diriku ini ketika membuat menangis seorang ibu yang membesarkan aku. Aku mencoba memeluk ibu dan terhanyut dalam dekapannya.

“ibu maafin Doni, bu,.” Dengan memeluk ibu, dan sambil mengucurkan air mata aku terus mengucapkan kata maaf. Namun belum ada sepatah katapun dari ibu. Entah apa yang ada di benaknya.

“Don, kamu tolong buat ibu bahagia ya. Kamu harus sekolah, buat ibu bangga dengan prestasimu. Ibu dan ayah pasti akan berjuang untuk membiayai kamu dan adikmu. Berikanlah kebahagiaan dengan prestasimu.” Tiba-tiba ibu berbicara seperti itu.

“jeleeeegaaaarrrr….jeleeeeegeeeeerrrr….” Seperti ada Guntur yang menyambar dalam hatiku, dan membuat aku tak sanggup menahan air mata sehingga menangis sejadi-jadinya.

“Hikssss….hikkksssss….hiksss….” Tak mampu aku berkata apa-apa lagi ketika mendengar semua nasihat ibu, hanya menangis dan menangis.

Aku memang pria dengan mental kuat, namun tetap menjadi lemah ketika melihat tangisan seorang wanita, apalagi ibuku sendiri. Belum mampu aku untuk beranjak dari ruangan itu, kaki masih terasa sangat berat dan tubuh masih terasa lunglai. Namun tak dapat disembunyikan perasaan nyaman ketika berada di pelukan seorang ibu, walaupun suasana saat itu sedang haru.

“Ma, Doni pergi ke kamar dulu ya.” Ibu tidak mengucapkan sepatah katapun. Namun suasana di ruangan itu perlahan mulai tenang. Dan beranjak aku meninggalkan ibu. Masih belum tega rasanya untuk meninggalkan ibu, dan kulihat ibu dari hordeng yang memisahkan ruang tamu dan dapur.

“Kenapa ma???” Tiba-tiba kulihat ayah datang dan merangkul ibu, dan disitu kembali kulihat ibu tak mampu menahan air matanya.

“Pa, kita harus berusaha terus untuk membuat anak kita bisa sekolah. Entah bagaimana caranya, namun kita harus tetap kuat. Ibu gak mau liat doni dan riska menjadi seperti kita” Ibu menjelaskan dengan terus berlinang air mata.

“Ya, TUHAN kuatkanlah Ibu dan ayah untuk menghadapi semuanya.” Masih merasa sangat bersalah diri ini, dan aku merasa sangat bodoh. Namun dalam hati kecil ini terus berdoa, agar orangtuaku kuat. Tak sanggup aku meyaksikan dan mendengarkan terus obrolan mereka. Dan kurasa aku takkan sanggup menahan tangis jika terus mendengarkan. Segera aku pergi ke kamara dan mengunci pintu.

“Ya, TUHAN apa yang telah aku lakukan??? Hati orangtua yang telah membesarkan aku telah kusakiti. Inikah balasanku atas jasa mereka??? Dan materi yang berlimpahpun tak mampu membayar atas jasa mereka. Namun sekarang aku malah membalasnya dengan suatu beban, untuk hati mereka. Aku harus berusah mencari penghasilan sendiri dan berprestasi dalam sekolah” Sesaat aku bergumam dalam hati dengan perasaaan bersalah.

Aku merenung dan saat kutatap langit, seakan mereka juga tak bersahabat dan tak mampu menenangkan hati yang gundah ini. Langit mendung, petir bersahut-sahutan dan tak ada bintang dan bulan yang sangat indah.

Walaupun tadi bertengkar dengan ibu, tidak menghentikan tekatku untuk mencari biaya tambahan  dan tidak boleh ada yang tahu. Namun ada sesuatu yang masih membuat diriku penasaran dengan hal yang membuat ibu menangis. Aku mencoba tetap berpikir dengan akal sehat, bahwa ibu menangis karena perasaan seorang wanita yang memang sensitive.

Tak terasa sudah dua jam lebih aku merenung. Hari telah larut malam dan jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, aku beranjak dari jendela dan menuju kasur. Aku mencoba memejamkan mataku untuk melupakan kejadian hari ini. Namun rasa gelisah terus berkecamuk dalam hati dan pikiran. Terus mencoba memejamkan mata namun tetap tak bisa. Rasa penasaran it uterus menghantui diriku.

Masih tak mampu aku memejamkan mata, dan tenggorokkan inipun terasa sangat kering. Aku bangun dan menuju dapur untuk mengambil air minum.

Ketika menuangkan air, tak sengaja aku menguping obrolan ayah dan ibu, yang ternyata dari tadi masih belum selesai dan masih membahas tentang sekolahku dan adikku.

“Pa, mama masih bingung bagaimana mencari dana untuk sekolah Doni dan Riska, serta uang pengobatan untuk ginjal Riska.” Ibu menjelaskan kepada ayah.

“Ha???? Pengobatan Riska???” Aku terkejut ketika mendengar kalimat itu.

Sampai saat ini aku tidak tahu kalau Riska mempunyai penyakit yang berhubungan dengan ginjal. Aku terus menguping untuk menemukan jawabannya. Namun tiba-tiba ayah mengajak ibu untuk tidak membahasnya.

“Ma, jangan ngomong di sini nanti di dengar anak-anak.” Ayah mengajak ibu ke kamar.

Semakin penasaran saja aku, namun belum mendapat jawaban yang pasti. Sepertinya penyakit yang dimiliki Riska, terlihat parah. Sehingga orangtuaku tidak memberitahunya sedikitpun kepada aku dan Riska.

 

 

2

                                Esok paginya

Baru kali itu aku melihat ayah menangis dan baru kali itu pula ayah bersikerasa untu

Seketika hati seperti tersambar petir dan kaki serasa lemas tak berdaya Tak mudah bagi kedua orangtuaku berjuang dalam menghadapi rintangan, untuk berjuang menyekolahkan aku dan adikku.

Terasa sedih ketika wajah yang kusam dan peluh menetes stelah

Melihat banyak teman-teman sebayaku yang berasal dari keluarga kaya raya, jatuh dalam sebuah lubang kelamnya hidup dan terjerumus dalam suatu nikmatnya kebahagiaan dunia. Bagi mereka hidup hanyalah sebuah kebahagiaan, yang dapat mereka nikmati saat ini. Tak ada keinginan mereka yang tidak dapat terpenuhi, dengan uang yang mereka dapat dari orang tua mereka

                Sementara aku??? Aku hanya merasa seperti semut


Tidak ada komentar:

Posting Komentar